Biasanya aku nahan untuk ga ke toilet selama jam ngajar. Tapi hari itu aku udah ga tahan lagi. Jadi waktu anak-anak lagi belajar Mandarin, aku putusin untuk pergi ke toilet. Dalam perjalananku pergi ke dan kembali dari toilet aku hampir saja menangis 2 kali karena 2 kejadian berbeda namun beresensi sama. Ini tentang mengucapkan, “goodbye...”
Kakiku melangkah cepat menuju toilet. Sesampai di ujung koridor playgroup, terlihat jelas oleh mataku, bagaimana seorang mama mengantarkan anaknya yang akan bersekolah hari itu.
Anak itu berdiri tepat di depan kelasnya. Beberapa orang tua beserta anak-anaknya dan baby sitter beserta anak asuhnya, berada di sekitar tempat itu. Anak itu berdiri terpaku di tengah hiruk pikuk yang terjadi.
Mamanya berdiri di sampingnya. Busana ala ngantor membalut tubuhnya. Kemeja rapi lengan panjang berwarna cerah, rok span selutut berwarna gelap, sepatu pantofel berwarna gelap, rambut terurai tanpa asesoris, dan kacamata.
Ia mengusap kepala anaknya beberapa kali. Tak ada kata-kata dari mulutnya. Sang anak pun diam. Diam. Setelah beberapa kali usapan, tanpa sepatah kata, sang mama pergi meninggalkan anak itu. Si kecil ini terus menatap kepergian mamanya. Matanya mengikuti setiap langkah kaki sang mama hingga ia jauh meninggalkannya.
Kini, ia hanya seorang diri. Berdiri terpaku di tengah-tengah kehangatan yang terjadi di sekitarnya. Berdiri terpaku menyaksikan kepergian sang mama. Berdiri terpaku dengan tatapan pengharapan akan hadirnya sang mama. Berdiri terpaku dengan tatapan ketidakmengertiannya tentang kepergian sang mama. Berdiri terpaku seorang diri.
...............
Tuntas sudah “kewajibanku" di toilet. Aku harus segera kembali ke kelas. Aku melangkah cepat. Namun, langkahku terhenti karena apa yang aku lihat tepat beberapa meter di depas kelasku.
Anak-anak dari kelas yang berada di sebelah kelasku berkerumun. Kulihat sang guru ada di tengah-tengah kerumunan itu.
Ada apa ini? Pikirku.
Kutemukan jawabannya.
Salah satu anak yang sudah beberapa bulan tidak masuk karena ia harus menjalani proses pengobatan dan penyembuhan akan sakit yang cukup parah, berdiri di tengah-tengah mereka. Anak itu memakai topi terbalik untuk menutup bekas jaitan pada kepala akibat operasi yang ia jalani. Masker menutupi mulut dan hidungnya untuk menjaganya agar tetap steril.
Anak itu menangis. Ia merindukan sekolah. Ia merindukan teman-temannya. Ia merindukan sang guru. Ia menangis.
Sang guru dan teman-teman menguatkannya agar ia cepat sembuh dan terus bersemangat. Tak lupa mereka ucapkan bahwa mereka mengasihinya. Tak henti-hentinya mereka melimpahinya dengan kata-kata penghiburan yang penuh kasih sayang.
Di akhir pertemuan singkat itu, mereka semua mengucapkan, “Goodbye....” kepada anak itu. Ucapan itu mengalir dari mulut setiap orang dalam kerumunan itu.
Ia pergi meninggalkan teman-teman dan sang guru. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang sambil dilambaikannya tangannya. “Goodbye...” katanya. “Goodbye....” ucap teman-temannya dan sang guru. Hingga akhirnya anak itu hilang dari pandangan mereka.
Aku tak bisa menahan tangisku.
Satu pikiran muncul dalam benakku saat itu... “Kalau keduanya menjadi perpisahan yang terakhir, perpisahan manakah yang akan menjadi perpisahan terbaik?”
Selama waktu masih DIA berikan, biarkanlah mereka mengetahui bila kita mengasihi dan menyayangi mereka. Karena bila waktu itu telah habis, yang tinggal hanyalah kenangan.
1 comments:
tears run down from my eyes as i read this....i will always pray for him.
Post a Comment