Lebih dari 20 tahun aku hidup dengan keyakinan itu. Keyakinan yang seringkali membuat aku menangis di tengah malam. Keyakinan yang membuat dadaku sering merasa sesak. Keyakinan yang sering membuat hidupku ini tak berarti bagi siapapun. Keyakinan yang membuat aku merasa tak layak ada di dunia ini.
Lebih dari 20 tahun aku hidup dalam keyakinan itu, tanpa seorangpun mengetahuinya, tanpa seorangpun menyadarinya, tanpa seorangpun memahaminya. Hanya Dia yang tahu semuanya.
Lebih dari 20 tahun.
------------------------
Udara yang dingin menembus dagingku, merasuk terus ke dalam hingga membuatku tulang-tulangku pun rasanya tak kuat menahan pilunya. Dingin, dingin sekali.
Aku berusaha menghangatkan tubuhku. Namun tak bisa. Sebuah kaos berbahan tebal, dilapisi sebuah baju hangat yang terbuat dari rajutan wol yang tebal, celana panjang menutupi hingga telapak kakiku, ditambah dengan sepasang kaos kaki tebal yang menutupi kakiku, semua itu tidak mampu mengalahkan dinginnya udara di pagi itu. Aku meringkuk di atas tempat tidur itu, layaknya sebuah udang yang siap untuk dijual. Posisi ini pun tidak mampu membuatku merasa lebih hangat. Dingin, dingin sekali.
Samar-samar terdengar suara orang berbicara dari luar kamar. Suara beberapa orang laki-laki dewasa yang sedang berbincang-bincang dalam bahasa Batak. Beberapa suara batuk parau menyelingi. Tidak jelas apa yang sedang mereka perbincangkan.
Itulah suasana kota Sidikalang di pagi hari. Sidikalang, sebuah kota kecil di Tapanuli Utara. Kota tempat bapaku lahir dan bertumbuh, hingga ia menemukan cita-citanya. Di kota inilah aku menghabiskan waktu liburanku selama beberapa saat.
Dalam dinginnya udara pagi itu, dalam ringkuk tubuhku yang begitu erat, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara, “Lyani...Lyani...” Ah, itu suara bapaku. Begitu pikirku. “Ya, Pak?” jawabku. “Sini. Keluar dulu,” katanya.
Jujur saja, waktu itu, ada penyesalan dalam dadaku. Ah, kenapa tadi aku menjawab. Seandainya saja aku tidak menjawab, pasti bapaku berpikir bahwa aku masih tertidur. Jadi, aku tidak perlu beranjak dari tempat tidur itu. Menyesal aku. Tapi, apa boleh buat.
Dengan rasa malas dan penyesalan yang besar, aku bangkit dari tempat tidurku. Berjalan ke luar kamar menuju tempat bapaku berada. Ternyata ia tergabung dalam kelompok laki-laki dewasa yang aku ceritakan tadi.
“Kenapa, Pak?” tanyaku sebelum aku sampai di dekatnya.
“Ini na, rambutan,” jawabnya sambil menyodorkan sepiring penuh rambutan.
Kutatap sepiring rambutan itu. Segar. Besar. Merah. Betapa menggodanya rambutan-rambutan itu. Mataku terbelalak saat itu juga. Terbayangkan olehku manisnya rambutan-rambutan itu. Terbayangkan olehku segarnya sari-sari yang keluar dari rambutan itu bila aku membuka kulitnya. Terbayangkan olehku empuknya daging rambutan itu ketika aku menggigitnya.
Senyum merekah di wajahku. Satu kalimat yang terucap dari bibirku, “Waaaa... rambutan....”
Tanpa berpikir panjang, aku duduk di sebelah bapaku. Ia telah menyediakan sepiring rambutan untukku. “Nih, makan,” katanya.
Kubuka kulit demi kulit. Kunikmati setiap gigitan daging rambutan-rambutan tersebut. Kuhisap dengan nikmat setiap sari-sari yang mengalir dari buah-buah itu. Ah...segar sekali. Aku tidak peduli pada apa yang mereka bicarakan. Yang terpenting bagiku saat itu adalah, betapa nikmatnya rambutan-rambutan ini.
Tak kusadari, rambutan yang tersedia di piringku hampir habis. Melihat hal ini, tanpa aku meminta, bapaku memenuhinya lagi. Ia mengambil beberapa ikat rambutan lagi dari piring besar yang tersedia di tengah ruangan. Kemudian ia letakkan di atas piringku. Rambutan-rambutan itu hampir habis lagi. Ia berdiri, berjalan menuju dapur. Ia bertanya pada beberapa orang di dapur, masih adakah rambutan yang tersisa. Ia kembali, membawa beberapa buah rambutan yang tersisa. Diletakkannya rambutan-rambutan itu di atas piringku. Aku tak peduli tentang apa yang ia lakukan. Aku sama sekali tak peduli. Yang terpenting bagiku saat itu adalah, betapa nikmatnya rambutan-rambutan itu.
Dan segala rasa pilu dan kedinginan yang aku rasakan sebelumnya pun hilang sudah.
----------------------------
Waktu membawaku kembali ke Surabaya. Tempat aku hidup, berjuang untuk hidup, dan menyelami arti hidup.
Kisah tentang rambutan itu aku ceritakan kepada seseorang yang sangat aku kasihi. Ia terdiam beberapa saat. Tak ada balasan, komentar, atau apapun. Dia hanya terdiam dengan tatapan kosong ke depan.
“Kenapa?” tanyaku.
“Kaya gitu itu masih kamu bilang kalo bapakmu ga sayang kamu?” jawabnya.
“Maksudmu?” Aku tidak mengerti.
“Seumur-umur aku hidup, belum pernah tuh bapaku kaya gitu ke aku. Mungkin dia malah ga tau apa makanan kesukaanku,” jawabnya lirih.
Aku diam.
“Sampai hal yang paling kecil. Makanan kesukaan. Dia tahu. Malahan dia nyediain tempat khusus kan untuk kamu. Dia tambahin lagi. Sampai akhirnya semua rambutan yang ada habis. Iya kan?” katanya masih dengan pandangan kosong ke depan.
“Ga semua bapak bisa kaya gitu. Ga semua bapak tau makanan kesukaan anaknya,” sambungnya.
Kami terdiam.
“Kaya gitu masih kamu bilang kalo dia ga sayang kamu? Kayak gitu masih kamu bilang kalo dia ga merhatiin kamu?” tanyanya lagi.
Aku hanya terdiam. Tidak ada jawaban yang bisa aku berikan.
Ya, Tuhan. Betapa ia mengasihi aku.
Air mataku mengalir.
Ia tahu apa yang menjadi kesukaanku.
Ia mengasihiku, Bapa. Ia memperhatikanku, Bapa.
Ya, Tuhan... apa yang ada di pikiranku selama ini?
Ya, Tuhan... betapa si jahat iblis sudah memutuskan hubunganku dengan bapaku selama lebih dari 20 tahun dengan keyakinan jahat yang berdiam dalam hatiku ini?
Ya, Tuhan... ampuni aku.
Ya, Tuhan... maafkan aku.
Ya, Tuhan... betapa bahagia hatiku ini karena ia mengasihiku.
Ya, Tuhan... ia mengasihiku!
Ya, Tuhan... terimakasih...
Terimakasih untuk ia yang mengasihi aku.
Terimakasih untuk ia yang telah Kau pakai untuk berbicara kepadaku.
Terimakasih karena Engkau yang luar biasa dalam hidupku.
Aku sayang kau, bapaku.
Aku sayang Kau, Bapaku.
Teruntuk bapaku yang sangat aku kasihi...
Efesus 1:16-17
“aku pun tidak berhenti mengucap syukur karena kamu. Dan aku selalu mengingat kamu dalam doaku, dan meminta kepada Allah Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Bapa yang mulia itu, supaya Ia memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar.”
Keyakinanku selama lebih dari 20 tahun runtuh sudah hanya karena sebuah kisah tentang rambutan.

3 comments:
mantapsss ceritanya... :D
ahahaha!
*nda tau mau ngomong apa
"Itulah suasana kota Sidikalang di pagi hari. Sidikalang, sebuah kota kecil di Tapanuli Utara".
Koreksi :
Sidikalang adalah ibukota Kabupaten Dairi. Jadi tidak berada di Tapanuli Utara.
Post a Comment